Log in to access resources reserved for MDRT members.

Okt 27 2020

READ 00:06:19

Sains & perangkat lunak

Leledakis mengadopsi pendekatan prospek dan pertemuan nasabah yang bertumpu kuat pada teknologi dan data.

SAAT BERTEMU Panagiotis Leledakis, LUTCF, nasabah mungkin diajak masuk ke ruang rapat di stasiun ruang angkasa, dengan jendela yang menunjukkan pemandangan galaksi yang jauh. Avatar mereka duduk di meja ruang konferensi bersama avatar Leledakis. Mereka membahas banyak hal, dari asuransi hingga rencana waris secara real time – walau pertemuan tersebut digital dan nasabah bahkan berada di negara lain.

Leledakis, penasihat kawakan dengan karier selama 21 tahun, yakin bahwa masa depan jasa keuangan terletak pada penggunaan teknologi yang kian meningkat. “85% milenial berpikir bahwa kita menjalankan profesi kuno tanpa teknologi dan inovasi,” katanya. “Anggapan itu ada benarnya. Karena itu, kita harus mempercepat transformasi digital di industri kita.”

Untuk itu, ia telah mencurahkan delapan tahun terakhir untuk meriset dan menerapkan teknologi canggih dalam bisnisnya, termasuk teknologi realitas virtual (VR). Anggota MDRT selama dua tahun dari Marousi, Yunani, ini telah melengkapi strategi digital dengan strategi lain yang berdasar pada ilmu saraf dan seluk-beluk memahami persepsi nasabah akan risiko.

Kombinasi tersebut telah meningkatkan jumlah nasabah, membentuk akademi pelatihan untuk penasihat lain, dan mata kuliah untuk mahasiswa jasa keuangan yang didasarkan pada kurikulum yang disusun bersama oleh Leledakis dan satu tim ilmuwan, termasuk ilmuwan saraf.

Kendati Leledakis telah mencoba berbagai metode untuk mencari cara terbaik dalam menjalankan bisnis secara digital, ia berkata ada beberapa rahasia yang bisa memudahkan kita untuk memulainya.

Perlengkapan yang tepat

Selain investasi waktu, memulai proses digitalisasi dengan telekonferensi atau media sosial tidak harus mahal, kata Leledakis. Namun penampilan profesional memang dapat ditingkatkan dengan perlengkapan berkualitas tinggi.

“Delapan tahun lalu saya memutuskan untuk mendigitalkan 70% bisnis dan pertemuan saya,” kata Leledakis. Langkah pertamanya adalah mendidik nasabah, khususnya yang paling skeptis, tentang cara pakai alat digital, dan meyakinkan mereka bahwa ini proses simpel untuk terhubung dengan timnya.

Barulah ia menambahkan perlengkapan yang tepat. “Kami ada studio layar hijau, mikrofon – semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengadakan telekonferensi keren di mana pun di dunia.” Ia biasanya menggunakan Zoom, Webex, Microsoft Teams, Google Hangouts, Viber, dan WhatsApp, sesuai keperluan.

Hal pertama yang dilakukannya saat menyiapkan telekonferensi adalah membuat tampilan latar digital yang profesional menggunakan perangkat lunak telekonferensinya. “Lalu, tinggal menambahkan layar hijau dan pencahayaan,” jelasnya. Ia juga menggunakan mikrofon jepit untuk kualitas suara yang lebih baik.

Staf yang tepat

Ketika memutuskan untuk go digital, Leledakis tahu ia harus merekrut karyawan yang tepat. “Anda harus memilih orang-orang yang tepat, yang tidak perlu diawasi setiap waktu untuk memastikan kerjanya. Dan harus ada sistem kolaborasinya,” kata Leledakis, yang menggunakan aplikasi Asana dan Todoist untuk manajemen proyek dengan timnya.

Nasabah yang tepat

Langkah berikutnya: memastikan para nasabah mau merangkul teknologi, karena Leledakis beranjak ke teknologi VR dan realitas teraugmentasi (AR), hal yang dikenal banyak milenial lewat gim video.

“Saya membidik segmen milenial karena mereka sudah punya perlengkapannya, dan karena riset menunjukkan bahwa dalam dua atau tiga tahun ke depan, VR akan menjadi kenormalan baru,” katanya. “Kami menggunakan teknologi ini untuk mendekati, khususnya, segmen milenial kaya. Ada juga komunitas VR tempat Anda bisa bertemu orang sebagai avatar, dan ini metode memprospek yang sungguh inovatif.”

Leledakis juga menggunakan teknologi hologram AR; ia dan nasabah dapat berada di ruang yang sama dan bertemu secara real time. Ia telah menggunakan teknologi ini untuk menyiarkan pidato di Amerika Serikat dari studionya di Yunani.

Ketika pandemi melanda

Leledakis mendapati bahwa teknologi yang telah diterapkannya menjadi solusi penting di tengah situasi pandemi dan karantina total. “Kami sudah punya semua alat untuk cepat berkomunikasi dengan prospek atau nasabah, menggunakan buletin, pesan singkat dan webinar,” katanya. Ia menggunakan perangkat lunak acara virtual yang mampu menampung hingga 5.000 peserta dan alat-alat untuk mengadakan presentasi live streaming yang dapat diikuti berapa orang pun.

Dalam salah satu webinarnya, ia mengundang seorang psikolog anak untuk membahas cara menangani anak selama masa karantina. Ia mengirim undangan kepada para nasabah, dan mendorong mereka untuk membagikannya ke teman-teman yang lain.

“Undangan berupa video satu menit itu juga kami pasang di grup-grup medsos, forum, dan blog untuk orang tua,” katanya. “Teks undangannya berbunyi: Rabu, pukul 2 siang. Klik tautan ini dan, dari rumah Anda, dengarkan paparan penting dari ahlinya.”

Hasilnya? Lebih dari 500 nasabah dan 1.200 prospek mendaftar.

Setelah presentasi dari narasumber, Leledakis berbicara selama 10 menit tentang manajemen risiko, dan bahwa firmanya dapat membantu mengidentifikasi, menyusun prioritas, dan menguantifikasi hasilnya lewat perangkat lunak khusus mereka. Jika prospek tertarik untuk tahu lebih jauh, di akhir webinar mereka bisa mengisi sebuah formulir singkat dengan nama, alamat surel, dan nomor telepon.

Ada 500 orang yang tertarik, 150 di antaranya berlanjut ke janji temu, dan dalam dua bulan 70 nasabah baru berhasil didapatkan.

Memprospek secara digital

Leledakis memprospek secara digital, menggunakan media sosial seperti LinkedIn. Ia masuk ke akun medsos kenalannya dan mencari informasi siapa saja yang sering berinteraksi dengan mereka, misalnya lewat komentar dan unggahan yang disukai. Lalu ia memilih tiga orang koneksi kenalannya tersebut di medsos.

“Saya melakukan itu dengan 10 orang setiap hari, dan tujuh dari 10 mengizinkan saya untuk mengontak tiga atau empat orang kenalan mereka yang ingin saya hubungi. Saya bertanya apakah boleh membuat obrolan grup yang berisi saya, nasabah, dan orang yang ingin saya temui. Dengan begitu, saya dapat 30 referensi setiap hari,” katanya. Leledakis kemudian mengajak prospek untuk bertemu secara virtual selama 10 menit, dan di dalam obrolan itu nasabah meyakinkan temannya bahwa metode asesmen risiko Leledakis perlu dicoba.

“Kalau dilakukan lima kali seminggu, saya dapat 150 orang. Dalam sebulan, ada 600. Itu cara yang sangat efektif, dan konsepnya pun sederhana.”

Penggunaan aplikasi perpesanan khusus seperti Viber, dan chatbot yang bisa menjawab pertanyaan saat ia tidur, menjaga koneksi Leledakis dengan prospek dan nasabah 24 jam sehari.

Walau ia mengakui bahwa interaksi langsung punya kelebihannya sendiri, dari perspektif bisnis, baginya platform digital adalah opsi yang lebih masuk akal.

“Saya bisa bertemu lima, tujuh, atau 10 orang sehari secara digital; kalau bertemu langsung, hanya dua,” katanya. “Untuk nasabah penting, saya kadang berkesempatan untuk bertemu langsung, tetapi khusus calon nasabah, saya ingin mengevaluasi mereka dahulu. Saya tidak ingin, sudah buat janji temu, lalu ternyata prospek tidak tertarik.”

Namun, kombinasi antara nasihat dan teknologilah yang memunculkan hasil terbaik bagi nasabah, kata Leledakis. “Penasihat keuangan tidak tergantikan karena kita perlu mengedukasi nasabah sebelum memberikan nasihat. Jika orang sudah memahami risikonya dan tergerak sendiri untuk mencari solusinya, kita tidak lagi dibutuhkan. Mereka butuh edukasi. Itulah titik masuk kita.”

Mengatasi keberatan dengan memahami ilmu saraf

Saat mengawali karier di jasa keuangan, Leledakis frustrasi karena orang tidak paham bahwa ada risiko-risiko yang dapat membahayakan kehidupan mereka dan bahwa asuransi dapat membantu meminimalkan risiko tersebut. Ia punya seorang teman yang, pada 2009, baru menjadi ilmuwan saraf. Bersama-sama, mereka lantas meneliti mengapa orang sulit menerima konsep ini.

Hasil riset mereka menunjukkan bahwa orang memiliki “bias optimistis” yang membuat mereka merasa hidup akan baik-baik saja, karena otak mencoba melindungi dirinya sendiri dari rasa sakit dan takut.

“Di industri ini, sekarang kita tahu bahwa metode menakut-nakuti saat berbincang dengan prospek adalah metode yang keliru,” kata Leledakis. “Ada efek ‘beku’ karena setiap otak memiliki level toleransi rasa takut, dan ketika batas ini terlampaui, otak membeku.”

Leledakis mencontohkan hewan yang berlari menyeberang di depan mobil yang sedang melaju dan diam tak bergerak ketika melihat sorot lampu mobil. Bila Anda mendekati nasabah dengan rasa takut, reaksi mereka: tutup telinga atau enggan memutuskan, sehingga akhirnya menunda-nunda. Riset itu juga menunjukkan bahwa otak manusia sulit berubah pendapat.

Karena itu, Leledakis telah bekerja bersama timnya untuk mengembangkan perangkat lunak manajemen risiko yang mengukur setiap risiko prospek, agar ia bisa menyusun prioritas dan menguantifikasi risiko-risiko tersebut. “Dengan konsultasi manajemen risiko ini, kami bisa ‘mengakali’ cara kerja otak dan membantu orang mengambil keputusan yang lebih bijak terkait hal ini,” katanya. “Dan itulah diferensiasi utama firma kami dari semua firma lainnya.”

KONTAK: Panagiotis Leledakis pan@ifaacademy.eu